Khilafah: antara Fiksi dan Sejarah

(Diskusi bulanan JIL di Teater Utan Kayu, 26 April 2015 | Pembicara: Prof. Dawam Rahardjo, Ulil Abshar Abdalla)

image

Dalam magnum opusnya berjudul “Al Khilafah wal Mulk (Khilafah dan Kerajaan)”, Abul A’la Al Maududi (tokoh pendiri Jamiat Islami di Pakistan, semacam Ikhwanul Muslimin di Mesir) mengecam keras praktik dinasti/kerajaan pasca Khilafaur Rasyidin (Abubakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Menurutnya, masa khilafah, pasca 20-an tahun periode Madinah zaman Rasulullah, hanya terjadi pada masa Khilafaur Rasyidin lebih kurang 30-an tahun. Setelahnya, dimulai dari era Muawiyah hingga Utsmaniyah yang runtuh bulan Rajab, yang terjadi adalah praktik dinasti/kerajaan yang mewariskan kekuasaan kepada keturunan–sesuatu yang sangat bertentangan dengan  sistem Khilafah yang mensyaratkan partisipasi elektoral dalam pemilihan pemimpin.

Dan faktanya, masa khilafah pun banyak memiliki catatan kelam. Abubakar dipilih menjadi khalifah oleh ‘kasak-kusuk’ sekelompok orang di Saqifah pada saat wafatnya Rasulullah. Abubakar menunjuk Umar menjadi penerusnya saat menjelang ajal. Utsman dipilih oleh Dewan Pemilih berisi 6 orang. Hanya Ali dipilih oleh mayoritas ummat.

Khilafah seperti apa jadinya yang mau dirujuk oleh ummat sekarang?

Mundur lebih jauh lagi, Piagam Madinah sendiri sesungguhnya adalah praktik demokrasi sekuler. Kekuasaan tidak dipegang oleh kelompok/agama tertentu. Semua orang dan kelompok berhak hidup dan dijamin keselamatannya. Saat disusun, Piagam Madinah awalnya hendak dimulai dengan kalimat Bismillah, namun ditentang oleh kelompok nonmuslim. Di penutupnya, semula hendak ditulis Muhammad Rasulullah, namun ditentang oleh kelompok yang tidak mengakui Muhammad sebagai rasul. Atas kedua penentangan ini, Rasulullah mengabulkan, demi menimbang kepentingan yang lebih besar.
—————————————–

SISTEM KHILAFAH,
ANTARA FIKSI DAN SEJARAH

Oleh: M. Dawam Rahardjo

Fiksi adalah suatu karya sastra yang tidak dimintai pertanggung-jawaban mengenai disiplin dan etika ilmiah maupun kebenaran fakta sejarah. Dengan perkataan lain, fiksi bukanlah karya ilmiah atau karya sejarah. Kekuatannya terletak pada kreativitas dan imajinasi yang mampu menembus tembok rasionalitas dan dogma yang sering kaku sehingga mampu menggugah emosi dan semangat. Dengan perkataan lain, fiksi adalah sebuah jalan menuju kebebasan fikiran bahkan bisa membentuk kepercayaan, seperti misalnya orang bisa beriman bahwa tokoh Basudewa Krisna adalah seorang dewa yang dipuja dan diikuti ajaran-ajarannya, sebagaimana dipercaya oleh tokoh protagonis dalam cerita sinetron Jodha Akbar yang sering membawa patung Krisna walaupun sebenarnya ajaran-ajaran ditulis oleh pengarangnya. Kekuatan seperti itu terdapat pada Epos Mahabharata dari India, karya puisi Epik “Iliad” dan “Odissey” karya pujangga Yunani Hameros yang antara lain melahirkan mitologi “Oedipus Rex” atau “Raja Oedipus”. Demikian pula “Shah Namah”, sebuah karya puisi lirik dari Persia. Kaum psikolog modern sangat mengenal teori “Oedipus Complex” karya Sigmund Freud. Baik “Iliad” dan Odissey” berisikan etika yang berpengaruh terhadap sistem etika di Eropa dan Shah Naman di Iran.

Bangsa Arab tidak memiliki Epos atau puisi lirik karya fiksi sejarah semacam itu. Sedangkan bangsa Indonesia hanya mampu menyadur Epos Mahabharata, misalnya adalah kisah “Arjuna Wiwaha”. Tetapi kesusasteraan Jawa juga mempunyai karya yang setengah fiksi yaitu “Babad Tanah Jawi”, karya Caric Braja atas perintah raja Mataram Islam, Pakubuwono ke III (1788). Fiksi ini adalah karya sastra sejarah dalam bentuk tembang atau puisi yang mengandung mitologi, dongeng-dongeng dan kosmologi serta pengkultusan individu, tetapi juga berisikan ajaran-ajaran etis kepemimpinan dan pemerintahan yang terkandung dalam kisah tentang asal usul dan silsilah raja-raja Mataram Islam sejak kerajaan Islam Jawa yang berpusat di Pajang dan juga kerajaan Pajajaran. Episode-episode Babad Tanah Jawi itu kemudian dilayangkan dalam bentuk teater tanpa repetoire yang mengandung nilai sastra. Walaupun suatu karya fiksi, namun Babad Tanah Jawi telah dijadikan salah satu referensi atau sumber sejarah oleh sejarahwan modern Belanda, seperti De Graf sebagai alat interpretasi sejarah. Karya-karya sastra itu juga punya pengaruh terhadap ideologi politik Jawa, sebagai ditulis oleh ahli sejarah politik Indonesia modern dari Australia, Herbert Feith.

Teori politik “Khilafah” tidak pernah ditulis sebagai karya fiksi, walaupun banyak kisah para khalifah yang terkenal, seperti Umar bin Khattab ra. seorang khalifah dalam Khilafah atau Negara Madinah, Umar bin Abdul Aziz, dari dinasti Ummaiyyah, Harun al Rasyid dan al Makmum dari kekhalifahan Abbasiyah atau Sulaiman Yang Agung, dari imperium Osmani, pernah ditulis riwayat dan ketokohannya yang mengandung unsur pengkultusan. Tapi tulisan-tulisan itu bukan karya fiksi sastra.

Khilafah atau kekhalifahan adalah sistem kepemimpinan atau pemerintahan umat Islam yang sifatnya transnasional yang bisa ditulis sejarahnya. Dalam aliran Islam Syiah, khalifah disebut dengan istilah “Imamah”. Pemimpin dalam sistem kekhalifahan di kalangan Sunni dan Ahmadiyah disebut dengan istilah khalifah, sedangkan dalam Islam Syiah disebut sebagai Imam separti misalnya Imam Khomaeni yang legendaris itu. Keduanya dianggap atau diklaim sebagai wali umat Islam sedunia.

Khilafah bukanlah fiksi, semacam kisah kepemimpinan Kuru terhadap ras dan wilayah Arya dalam epos Mahabharata, karya Resi Wiyasa dari India. Tetapi teori mengenai pemerintahan konstitusional Khilafah Rashidah dan pernah ditulis oleh ulama India-Pakistan, Abul A’la al Maududi dan Munawir Sadzali dari Indonesia. Khilafah adalah fakta sejarah, walaupun dalam persepsi yang berbeda-beda. Mu’awiyah misalnya, oleh kalangan tertentu dilukiskan sebagai mantan sekretaris nabi yang berhasil menjadi politikus dan negarawan yang cerdas. Namun bagi kalangan Syi’ah, ia dianggap sebagai seorang yang licik dan curang yang memulai penyimpangan dari model Khilafah Rashidah, yang merubah pemerintahan republik menjadi monarki feodal. Namun demikian ada juga karya fiksi di lingkugan peradabanan Muslim yang menyerupai epos Mahabharata, yaitu maha karya sastra epik yang berjudul “Shan Namah” atau “nama Raja-raja” yang berbentuk mitos mengenai terbentuknya bangsa Iran, sejak dari masa kepercayaan Zoroatter sampai dengan datangnya Islam dari bangsa Arab. Epos itu, sebagaimana Mahabharata juga berisikan etika kepemimpinan yang luhur di kalangan bangsa Iran. Epik itu, terutama sistem etikanya, sangat berpengaruh tidak saja di Iran tetapi juga di kalangan bangsa-bangsa Asia Tengah, Asia Selatan bahkan juga Cina, yang melatar belakangi hubungan kultural Islam dan Konfusianisme Cina. Epik itu ditulis oleh seorang sastrawan besar Iran bernama Hakim Abul Kasim Firdousi Tusi, yang lazim disebut dengan nama Firdousi saja itu.
Shah Namah bukanlah karya sejarah melainkan karya fiksi berisikan mitologi sebagai media pesan-pesan ajaran etika kepemimpinan. Tetapi sistem etikanya berpengaruh dalam sistem kepemimpinan Syiah yang sebenarnya merupakan campuran atau dialektika antara kepemimpinan Arab yang dipersonifikasikan dalam tokoh Ali bin Abi Thalib dan etika kepemimpinan Iran yang terkandung dalam karya fiksi Shah Namah.

Shah Namah dapat disebut sebagai suatu genre sastra politik yang berisikan nasehat kepada para pemimpin terutama sultan. Genre ini juga ditulis oleh Machiavelli dalam bukunya yang terkenal “Il Principe”. Kedua buku itu didasarkan parareal-politik. Etika Machiavellis menghasil- kan adagium “the end justifies the means” yang menimbulkan kesan bahwa politik kotor. Sedangkan Shah Namah menasehatkan kepemimpinan yang berkarakter “bijak” bagai filsuf, memanfaatkan lahan bagaikan petani, pandai berhitung seperti saudagar dan pemberani layaknya prajurit. Tujuan yang harus dicapai oleh para pangeran adalah kekuasaan. Sedangkan Shah Namah melalui nasehat-nasehatnya, menghasilkan “lautan Kebajikan” ( al bahr al fawa’id) bagi rakyat. Genre ini diikuti oleh al Ghazali ketika menulis surat-surat nasehat kepada para sultan agar memerintah dengan adil.

Sistem kekhalifahan dalam sejarah Islam pada dasarnya terdiri dari dua macam saja. Pertama sistem kepemimpinan republik yang berlaku pada rezim Khilafah Rashidah yang cirinya adalah bahwa suksesi kepemimpinan dilakukan dalam sistem pemilihan. Dan kedua, kekhalifahan monarki-dinasti dimana pergantian pemimpin dilakukan melalui pewarisan menurut garis keturunan. Sebenarnya khalifah dalam sistem monarki itu lebih tepat disebut sebagai al Malik atau raja.

Tetapi dalam kepemimpinan Khilafah Rashidah sendiri terkandung empat varian suksesi. Pertama model bai’at oleh rakyat melalui musyawarah besar untuk memilih seorang pemimpin di antara tokoh-tokoh yang dicalonkan. Ini terjdi pada khalifah Abu Bakar Siddiq ra. Kedua melalui penunjukan oleh khalifah sebelumnya terhadap orang yang dipandang sebagai tokoh kedua yang selama pemerintahan berfungsi sebagai semacam wakil yang pada waktu itu sifatnya informal. Ini terjadi pada Umar bin Khattab yang ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penggantinya. Dan ketiga, dipilih oleh para tokoh yang dianggap mewakili berbagai kelompok atau kepentingan, dalam suatu komite yang disebut sebagai “al Ahl al Khally wa al Aqdy” yang memilih Usman bin Affan. Dan keempat adalah varian bai’at yang bersifat langsung oleh rakyat yang dimenangkan oleh kelompok yang terkuat, semacam pemilihan langsung oleh rakyat di zaman modern. Bai’at ini terjadi pada khalifah Ali bin Abi Thalib yang ditentang oleh kelompok Mu’awiyah yang menuduh Ali berada dibalik pembunuhan Khalifah Usman yang tergolong ke dalam klan Mu’awiyah.

Kepemimpinan Syiah model Imamah modern sebenarnya menyerupai model al ahl al khally wa al Aqdy. Hanya saja lembaga itu dalam kepemimpinan Syiah modern digantikan dengan lembaga al Wilayah al Faqih atau dewan para ahli fiqih atau fukaha.

Argumen dalam paham Syi’ah, adalah bahwa kepemimpinan yang ideal itu adalah kepemimpinan yang maksum atau terlindung dari dosa, semacam konsep “a king can do no wrong”, raja itu tidak bisa berbuat salah atau tidak bisa disalahkan tetapi kemaksuman itu hanya dimiliki oleh para nabi dan rasul. Karena itu maka kepemimpinan yang terlindung dari dosa itu harus dipagari dengan hukum syariah yang dilembagakan dalam dewan fuqaha, yang dalam konsep negara Indonesia modern disebut sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tetapi anggotanya dipilih cari calon-calon yang bersifat lintas suku dan agama. Dengan demikian maka Imamah itu adalah semacam kepemimpinan konstitusional yang dibimbing oleh suatu “Dewan Pertimbangan Agung” (DPA).

Sebenarnya khilafah Rashidah itu adalah sistem kepemimpinan konstitusional. Undang Undang Dasar-nya disebut sebagai Konstitusi Madinah oleh ahli ilmu-ilmu sosial modern Barat. Hanya saja dalam konstitusi itu tidak ditetapkan sistem suksesi kekhalifahan. Tetapi seorang khalifah harus mentaati kesepakatan sosial (social contract) yang intinya ada empat. Pertama adalah menjaga persatuan umat. Kedua adalah tanggung-jawab bersama dalam pertahanan negara dalam melindungi warga negara. Ketiga adalah menjamin perdamaian atau stabilitas politik. Dan keempat menegakkan kedilan dengan memberikan kepada masyarakat apa yang menjadi hak dan kewajibannnya. Konstitusi Madinah tidak mengatur kehidupan beragama dan tidak menentukan agama sebagai dasar negara atau agama kepala negara. Ada dua istilah dalam draf konstitusi yang ditolak oleh musyawarah. Pertama mencantumkan kalimat bismillahrahmanirahim.Yang kedua, mencantumkan Muhammad yang menanda-tangani Piagam itu atas nama Rasulullah, Utusan Allah yang mengandung unsur kepercayaan pribadi. Karena itu Negara Madinah dapat dianggap sebagai Negara Sekuler, walaupun tidak memusuhi agama atau membendung wacana agama untuk masuk ke ruang publik. Bahkan kepemimpinan Nabi saw. kemudian dibimbing oleh wahyu, walaupun baru dikodifiksikan oleh Khalifah Usman bin Affan.

Sistem kepemimpinan Khalifah Rashidah pada waktu itu berbeda secara mendasar dari kepemimpinan jahiliyah yang bersifat otoriter yang bergantung pada seorang pemimpin yang kuat, dalam arti mampu mempergunakan kekuasaan yang memaksa (coersive) yang bersifat absolut.

Namun demikian, kempimpinan khilafah rashidah itu ternyata mengalami kegagalan. Tiga dari empat khalifah digantikan melalui pembunuhan oleh rakyat dan bukan dari antara para pemimpin. Ini menunjukan pada corak masyarakat Arab tipe barbar.

Immanuel Kant, seorang filsuf sosial dan metafisika Jerman membagi masyarakat menjadi empat tipe. Pertama adalah masyarakar barbar yang tidak mengenal hukum dan kebebasan. Kedua, masyarakat anarki, yang mengenal kebebasan tetapi tidak mengenal hukum. Ketiga masyarakat otoriter yang hanya mengenal hukum, tetapi tidak mengenal atau memberangus kebebasan. Dan keempat adalah masyarakat yang mengenal hukum maupun kebebasan yang disebut masyarakat republik.

Masyarakat jahiliyah pada hakekatnya adalah masyarakat barbar. Islam datang dengan memperkenalkan hukum dan moral. Sebenarnya negara Madinah itu adalah masyarakat republik berdasarkan sistem hukum yang komprehensif yang terdiri dari hukum aqidah, hukum ibdah dan hukum sosial-ekonomi dan politik. Sebenarnya hukum aqidah dan hukum ibadah harus dibedakan dari hukum sosial ekonomi dan politik. Tapi masyarakat Arab yang nomaden pada masa Khilafah Rashidah itu hanya mengenal hukum aqidah dan ibadah saja, tetapi belum mengenal hukum sosil, ekonomi dan politik yang memang baru dikembangkan oleh kaum fukaha pada generasi sesudahnya pada abad 2 dan 3 H. Karena itu masyarakat pada waktu itu pada dasarnya masih bersifat barbar atau anarki.

Dalam teori filsuf sosial Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679), masyarakat barbar adalah masyarakat “homo-homini lupus”, dimana manusia mamandang manusia satu sama lain sebagai serigala. Dengan perkataan lain orang lain adalah ancaman bagi seseorang. Karena itu, maka setiap orang merasa tidak aman. Dalam situasi imaginer seperti itu, maka akan timbul kontrak sosial (social contract) dimana masyarakat menyetujui untuk menyerahkan sebagaian kebebasannya kepada seorang pemimpin yang akan memerintah mereka guna melindungi mereka dari ancaman dan ketidak- amanan. Dalam imajinasi Hobbes, masyarakat akan menyetujui kebutuhan seorang pemipin Laviathan, suatu “Raja makhluk laut” yang mengibaratkan seorang raja dengan kekuasaan absolut.

Teori sosial kontrak itu pada dasarnya disetujui oleh filsuf Inggris lainnya, John Locke yang berfaham liberal, yang menyetujui prinsip kebebasan bagi setiap individu dalam suatu masyarakat atau negara. Dengan latar belakang pemikiran itu, Locke tidak menyetujui konsep raja absolutis. Ia mengusulkan, agar kontrak sosial itu menjamin hak kebebasan bagi warga, disamping kewajiban raja untuk menjadi pelindung bagi rakyatnya. Kontrak sosial yang berisikan hak kebebasan warga itu harus dilembagakan dalam hukum yang disebut konstitusi. Itulah asal muasal kelahiran konsep kerajaan konstitusional di Inggris, yang dewasa ini dijalankan juga di Malaysia.

Negara Madinah pada masa kekuasaan Khalifah Rashidah, sebenarnya jauh lebih modern, sebagaimana diakui oleh Robert N. Bellah (1927-2013). Negara Madinah adalah sebuah republik konstitusional, yang dalam teori Immanuel Kant adalah masyarakat yang mengenal hukum maupun kebebasan. Namun model Negara Madinah itu hanya mampu bertahan selama 13 tahun dan 3 dari 4 khalifahnya diganti melalui pembunuhan dan bukan melalui pemilihan, kecuali Khalifah Abu Bakar al Shiddiq. Bahkan Umar bin Khattab pun, yang mengimbangi kekuasaannya yang militeristis itu dengan politik kesejahteran sosial, melalui lembaga al Bait al Mal, juga mati terbunuh ketika sedang menjalankan sholat. Gejala itu menunjukkan bahwa masyarakat pada masa kekhalifahan rashidah, pada dasarnya masih bersifat barbarian.

Sejalan dengan teori Leviatahan Hobbes, model kekuasaan yang menggantikan Khilafah Rashidah adalah kerajaan dinasti yang absolutis. Model ini masih berlaku di zaman modern dewasa ini. Sesudah Perang Dunia keII, model kerajaan telah diganti dengan model republik sekuler yang dimulai di Turki pada tahun 1924 yang ditandai dengan bubarnya konsep kekhalifahan, sebagai kekuasaan tran-nasional. Tapi gantinya adalah sebuah republik yang masih absolutis dan hanya sedikit mengenal kebebasan. Di bawah negara sekuler, masyarakat sufi yang damai dan mengenal etika kebebasan yang tinggi, diberangus oleh model kekuasaan etatis yng menyerupai Fascisme itu.

Sunggupun begitu, model kekuasaan Absolutist Abad Pertengahan bukannya tidak berhasil membangun peradaban. Justru pada masa itu peradaban Islam mengalami puncak perkembangannya yang unggul di dunia. Peradaban itu dimulai dengan perkembangan sistem hukum agama yang disebut syariah. Ilmu usuludin atau teologi, fiqih dan tasawuf adalah karya bangsa Arab yang unggul. Toleransi kekuasaan monarki Absolutis itu, nampak oleh gejala kebebasan berfikir, yang menyerap kebudayaan Yahudi, Kristen dan Yunani Kuno.

Penerjemahan karya filsafat Yunani, terutama filsafat Plato dan Aristotels, justru dipelopori oleh bangsa Arab yang melahirkan filsuf besar Arab yang pertama, al Kindi. Fakta sejarah yang menimbulkan tanda tanya itu, sebenarnya dilatar belakangi oleh perlawanan pemikir Arab yang mengenal dan menghargai kebebasan berfikir, ketika mereka dipandang rendah oleh para pemikir Persia yang unggul dalam filsafat metafisika. Dalam situasi itu, orang Arab ingin menandingi orang Persia, tetapi mengimpor filsafat Yunani yang rasional, sehingga pemikiran filsafati justru berkembang di kalangan bangsa Arab. Menurut pemikir Arab Maroko, Mohammad Abeit al Jabiri, bangsa Arab mula-mula menganut dan mengembangkan epistemologi atau metode berfikir Bayani sebagai pendekatan penafsiran ajaran wahyu dan epistemologi Irfani, sebagai praxis keagamaan berdasarkan pengalaman atau meditasi pribadi. Tapi bangsa Arab, juga mengembangkan epistemologi burhani, sebagai metode pemikiran bebas dan rasional. Perkembangan epistemologi itu menunjukkan pengenalan dan apresiasi orang Arab terhadap nilai kebebasan, setidak-tidaknya kebebasan berfikir.

Dengan tiga epistemologi itulah masyarakat Arab Islam melawan Absulutisme, tetapi dengan cara subversif pemikiran. Para fukaha mengembankan hukum syariat yang komprehensif yang mencakup bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan mu’amalat yang pada pokoknya terbagi menjadi dua. Pertama yang didasarkan pada keyakinan (naqli), yaitu mengenai aqidah dan ibadah. Kedua mengenai sosial, politik dan ekonomi. Syariat itu dimaksudkan untuk menjadi dasar atau bahan pendidikan kepada masyarakat sehingga dengan hukum syariat itu kaum ulama bisa mengendalikan perilaku masyarakat. Tetapi hukum syariat itu menimbulkan pula teori politik, yang pada dasarnya membedakan antara kekhalifahan dan kesulthanan. Tetapi teori kekhalifahan rashidah tidak mampu berkembang menjadi gerakan politik. Yang bisa dilakukan adalah mengatur pemerintahan sultan sebagaimana ditulis oleh al Mawardi yang berjudul “al Ahkam al Sulthaniah”. Tetapi strategi ini memiliki potensi untuk dikembangkan di masa modern, misalnya dikombinasikan dengan teori John Locke, tentang model monarki konstitusional, walaupun gagasan mengenai konstitusi ini sudah pula dikembangkan misalnya oleh Abul A’la al Maududi. Bahkan Pakistan telah menerapkan sistem pemerintahan republik, yang konstitusional dan bahkan demokratis.

Sementara itu al Ghazali juga telah mengembangkan teologi yang menjadikan Islam sebagai “doktrin komprehensif”, meminjam istilah John Rawls. Doktrin komprehensif tersebut ditulis dalam “opus-magnus ” Al Gazali yang berjudul “al Ihya’ al ‘Ulumuddin” (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Keagamaan). Secara khusus, di bidang politik ia menulis buku mengenai “Nasehat” kepada para raja” agar menjalankan pemerintahan secara adil. Dengan demkian, maka sistem monarki absolut yang tak terelakkan dalam masyarakat anarki itu, dimbangi dengan mengembangkan sistem hukum dan etika atau filsafat moral.

Di masa modern, Jamaluddin al Afhgani yang belajar dari Nasionalisme Barat, memelopori gerakan “Pan-Islamisme” yang mengajurkan gerakan pembebasan dari Imperialisme Barat dengan mendirikan negara-negara bangsa berdasarkan ideologi Islam. Muridnya Muhammad Abduh menganjurkan reformasi hukum Islam dengan epistemologi ilmu hukum Barat. Seorang muridnya lagi, Mohammad Rashid Ridha, yang juga murid Abduh dalam penafsiran al Qur’an, memelopori gagasan mnganjurkan penghidupan kembali sistim Khilafah model Khilafah Rashidah. Gagasan ini juga dikembangkan oleh ulama India Pakistan Abdul A’la al Maududi, yang mengembangkan konstitusionalisme Islam. Islam politik memang sudah sampai pada gagasan konstitusi, namun belum mampu merumuskan suatu model konstitusi yang bisa diterima oleh aliran kebangsaan atau sosialisme sekuler. Berbagai unsur gagasan itu termasuk konstitusionalisme, kemudian dilembagakan oleh ulama Mesir Hasan al Bana ke dalam gerakan politik Al Ikhwan al Muslimin. Tapi ide dasar gerakan yang didirikan oleh al Banna dan dilanjutkan oleh Syed Qutb itu, adalah penerapan hukum syariah dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara yang diikuti di Indonesia oleh partai Masyumi (Mejelis Syura Mislimin Indonesia). Namun gagasan penerapan syariat itu masih bertentangan dengan teori hukum demokratis Habermas. Di Indonesia legislagi hukum syariat telah berhasil kembangkan secara demokratis setalah mengalami obyektivikasi, meminjam istilah Kuntowidjojo dan di bidang ekonomi, khususnya keuangan dan perbankan, telah bisa diterima oleh pasar.

Dengan demikian, dewasa ini terdapat dua model politik Islam. Pertama adalah gerakan untuk mendirikan Negara Islam, dalam arti Negara yang menerapkan syariat Islam di segala segi kehidupan sebagai negara bangsa (nation state). Yang mengemban gagasan ini adalah Jami’at Islami Pakistan yang dianjurkan oleh Abul A’la al Maududi. al Ihwan al Muslimin di Mesir yang dibentuk oleh Hasan al Banna dan al Nahda di Tunisia yang dipimpin oleh Rashid Ghonnoushi. Gerakan ini, dalam Arab Spring menggerakkan proses demokrasi, tetapi mereka terbentur pada persoalan konstitusi yang berhadapan dengan kelompok nasionalis dan Sosialisme Arab yang keduanya berhaluan sekuler. Kegagalan telah terjadi di Mesir, negara ini kembali kepada rezim militer-otoriter tetapi telah berhasil menemukan kompromi di Tunisia sehingga berhasil membentuk pemerintahan sipil yang demokratis. Dalam konstitusi Tunisia, Islam tidak menjadi dasar negara, melainkan agama negara. Hal ini memberikan peluang bagi perkembangan syariah demokratis atau hukum demokratis sebagai metode pengembangan hukum syariah. Dengan penetapan Islam sebagai agama negara, yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip sekularisme itu, maka negara tidak boleh ikut campur dalam pengaturan hukum aqidah dan ibadah, tetapi terbuka dalam pembahasan sosial ekonomi dan pilitik. Gerakan penghidupan kembali lembaga kekhalifahan trans-nasional dilakukan oleh partai al Hisb al Tahrir atau “Partai Pembebasan”. Tetapi caranya adalah dengan mendirikan Negara Islam, sehingga partai itu dinyatakan terlarang di negerinya sendiri, Yordania.

Sebenarnya usaha untuk membentuk model kekhalifahan itu dilakukan oleh Saudi Arabia dengan proyek “Konperensi Negara-negara Islam”nya di bidang politik dan kerjasama persemakmuran (commonwelth) melalui pendirian “Islamic Development Bank” (IDB) mengikuti model bank Dunia. Dan sebagai perlawanan terhadap dominasi IMF (International Monetery Fund), IDB mengembangkan sistem keuangan dan perbankan syariah di berbagai negara Muslim maupun non-Muslim. Sungguhpun demikian, Saudi Arabia tidak mengklaim mendirikan kekhalifahan Islam.

Gagasan kekhalifahan Islam juga dikembangkan oleh gerakan Ahmadiah Qadian yang semua berpusat di Qadian, tetapi karena di larang oleh Pemerintah Pakistan, kemudian dipindahkan ke London. Berbeda dengan kekhalifahan Sunni, kekhalifahan Ahmadiyah adalah kekhalifahan spiritual, sehingga bisa beroperasi dan diterima di negara sekuler. Ahmadiyah sendiri juga menerima prinsip sekularisme dan bergerak menyebarkan agama Islam secara damai dan menghindari bertentangan dengan Pemerintah setempat.

Padanan dari gerakan khilafah adalah gerakan membentuk kepemimpinan Imamah yang dilakukan oleh kelompok Idlam Syariah. Imamah adalah kepemimpinan yang dipagari oleh suatu dewan ahli-ahli fiqih dalam lembaga al Wilayah al Faqih agar pemimpin itu terproteksi dari dosa, walaupun seorang pemimpn itu tidak bersifat maksum seperti para nabi. Karena itu presiden di Republik Islam Iran itu dipilih melalui pemilihan umum yang terbuka, walaupun calonnya harus mengalami semacam “fit and proper test” dari lembaga al Wilayah al Faqih.

Sebenarnya gagasan kekhalifahan merupakan gagasan yang ideal guna menyelesaikan persoalan politik dan kepemimpinan Dunia Islam. Kekhalifahan dalam hal ini menyerupai “Negara Kesatuan Republik Indonesia” berdasarkan demokrasi-konstitusional. UUD 1945 dapat dijadikan model konstitusinya dan Pancasila bisa menjadi model ideologinya yang bersifat hybrid. Kekhalifahan ini diperlukan untuk mempersatu- kan negara-negara Islam dan aliran-aliran Islam politik yang menimbulkan ketidak-stabilan, pergolakan politik, bahkan perang di antara sesama Muslim itu. Dengan perkataan lain Kekhalifahan Dunia Islam diperlukan untuk menjalankan politik Islam. Karena itu, maka Kekhalifahan itu harus seperti kekhalifahan Rashidah, dalam arti bersifat pluraris, dalam arti mengakui berbagai indentitas yang mengandung kesamaan di tingkat transendensi, liberal, dalam arti terbuka terhadap berbagai aliran yang berbeda dan sekuler, dalam arti membedakan wilayah kepercayaan dan wilayah politik dan kenegaraan yang bersifat rasional, tetapi akomodatif terhadap wacana keagamaan, berdasarkan prinsip pasca sekulerisme Habermas.

Kekhalifahan trans-nasional adalah solusi terhadap dua rezim otoriter yang mendominasi Dunia Islam, yaitu rezim monarki-absolutis atau kesultanan dan rezim militer Sosialisme Arab sekuler yang menyerupai rezim Fascis itu atau rezim keamiran.

Dunia Islam dewasa ini membutuhkan gerakan “Islamic Spring”. Namun caranya harus dilakukan secara reformis demokratis, dengan mengambil pelajaran dari gerakan chartist di Eropa yang menghargai the virtue of comprimise.

Pertama, negara-negara kesultanan perlu digantikan dengan model monarki-konstitusional yang demokratis model Inggris. Idealnya memang suatu republik yang demokratis namun penghalangnya ada dua. Pertama, kualitas warga masyarakat yang coraknya masih anarkis yang belum sadar hukum. Disini peranan ulama sangat strategis, misalnya ulama salaf yang telah mengembangkan semacam kode etik salafiyah yang bisa dikembalikan menjadi sistem civil Islam. Kedua, melindungi kekayaan sumberdaya alam yang kaya di Dunia Islam, sehingga selalu mengalami intervensi dari Dunia Imperialis. Selain itu suatu bentuk negara kesatuan (unitary state) yang kuat diperlukan pula untuk menjamin keadilan sosial dan mencegah proses trickel-upe kekayaan rakyat.

Strategi kedua adalah menggantikan rezim militer otoriter tetapi yang sudah bercorak republik itu dengan negara demokrasi- konstitusional. Kuncinya adalah pertama mengizinkan sistem kepartaian plural. Kedua, penyelenggaraan pemilihan umum yang terbuka, adil dan jujur guna memilih anggota parlemen dan memilih presiden dan wakil presiden atau perdana menteri. Jika mengikuti model Negara Madinah maka presiden dan wakilnya dipilih secara tidak langsung melalui semacam lembaga al ahl al khally wa al aqdy, yang mengikuti model MPR Indonesia. Untuk itu di negara-negara republik militer yang otoriter itu perlu dibentuk partai-partai politik multi-ideologi.

Melalui sistem kepartaian itu, maka perlu dilakukan liberalisasi, dalam arti di negara-negara Sunni, diberikan kebebasan pada para pengikut Syiah untuk berpartisipasi di bidang sosial, ekonomi dan politik. Dengan perkataan lain, partai politik tidak boleh bersifat sektarian Sunni atau Syiah. Melalui pemilihan umum yang bebas, adil dan jujur golongan Syiah bisa sama-sama duduk di pemerintahan atau duduk diparlemen dalam melakukan pengawasan. Sedangkan gerakan Ahmadiah sudah dengan sendirinya tidak mendirikan partai politik.

Prinsip-prinsip demokrasi-konstitusional itu juga berlaku di negara-negara Syiah seperti Iran, Siria dan Iraq dan mungkin Yaman. Kelompok Syiah Houti sebenarnya sudah mengikuti prinsip demokrasi ini. Tetapi dewasa ini, pada dasarnya Dunia Islam sedang memasuki masa transisi.

Dalam masa transisi ini akan terjadi perubahan peta geo-politik. ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang secara de facto telah menguasai separuh wilayah Iraq dan sepertiga wilayah Siria itu, agaknya tidak bisa dicegah untuk berdiri dan memperoleh kekuasaan de yure. Karena secara tidak terang-terangan didukung oleh negara-negara Sunni. Sementara itu Yaman akan menjadi republik Islam yang baru model Iran, tetapi berdasarkan demokrasi yang lebih progresif yang akan memberi kesempatan kepada kelompok Sunni untuk berpartisipasi dalam politik dan pemerintahan. Dengan demikian, maka wilayah Syiah untuk sementara akan meliputi ngara-negara Iran, Siria, Iraq, Yaman dan mungkin Libanon. Penguasaan Yaman oleh kelompok Syiah yang mengikuti Iran tak terhindarkan karena Iran harus keluar dari Isolasi negara-negara Imperialis, dengan menguasai Selat Homus di timur dan kota pelabuhan Bab el Mandap di sebelah barat.

Bentuk kekhalifahan baru memang masih perlu didiskusikan terutama oleh Organisasi Konperensi Islam (OKI) yang beranggotakan ngara-negara Sunni, Syiah maupun sekuler itu. Dunia Islam itu perlu didukung oleh partai-partai Islamis maupun sekuler. Tetapi kekhalifahan harus menjalankan politik Islam yang demokratis, yang menjamin kebebasan di satu pihak dan hukum yang demokratis dilain pihak. Sesuai dengan Piagam atau Konstitusi Madinah, maka kekhalifahan itu harus mengikuti, pertama prinsip pluralisme, dalam arti mengakui dan menghargai identitas yang bersifat plural. Kedua menganut paham yang liberal, dalam arti terbuka terhadap berbagai paham yang berbeda yang memungkinkan komunikasi dan dialog yang terbuka. Dan ketiga, menganut paham pasca sekularisme yang memungkinkan dialog antara paham-paham sekuler, seperti nasionalisme dan sosialisme, dengan doktrin komprehensif keagamaan.

Jakarta, 26 April, 2015.

Tinggalkan komentar

Filed under Islam

Tinggalkan komentar